TENARNYA KELEZATAN MIE LETHEK KHAS BANTUL
Lawan KHASIAT Segarnya Wedang Uwuh Imogiri
Bumbu Rahasia Ayam Jago dan Biang |
Siapa sangka bila selama ini perjalanan kuliner menjelajahi Bekasi dan sebagian Jakarta serta beberapa daerah di luar kota ternyata bisa kalah seru dengan kuliner yang saya temui tak jauh dari tempat tinggal saya. Kali ini Pulogebang sebagai salah satu area khusus untuk liputan kuliner saya.
Waroenge Dhewe yang bernuansa magis |
Tepatnya sajian khas dari daerah sebelah selatan Jogja yakni Bantul., namanya Waroenge Dhe-Whe. Pastinya di warung sederhana ini menyajikan kelezatan sajian unik khas Bantul.
Mulai dari Gudeg asli khas Djogja, Ayam Penyet dan Bakmi Djowo khas Bantul. Tapi semuanya itu sudah pernah jadi liputan dan bukanlah hal yang istimewa buat kulinerkuliner.com apalagi bukankelanakuliner.com. Berikut ini sajian istimewa yang mendapat perhatian khusus liputan kali ini yakni Bakmi Djowo ala Mbok Dhe Mulyo.
Setiap pelanggan boleh memilih dan mengambil sendiri bahan baku seperti sayuran dan daging ayam sesuai selera. Barulah kemudian diberi bumbu dan dimasak langsung oleh Mbok Dhe Mulyo. Artis terkenal seperti Annisa Bahar pun sering memilih sendiri makanannya yang nantinya dimasak sang koki asli Bantul itu.
Setiap pelanggan boleh memilih dan mengambil sendiri bahan baku seperti sayuran dan daging ayam sesuai selera. Barulah kemudian diberi bumbu dan dimasak langsung oleh Mbok Dhe Mulyo. Artis terkenal seperti Annisa Bahar pun sering memilih sendiri makanannya yang nantinya dimasak sang koki asli Bantul itu.
Mie Lethek Khas Bantul Pulogebang Cakung |
Yang menjadi pilihan khusus kali ini adalah menu Mie Lethek khas Bantulnya yang sangat istimewa. Dari namanya saja sudah bikin rasa ingin tahu saya semakin membesar (kesannya benar-benar "aphrozidiac" neh makanan.... hehehehe). Lethek dalam bahasa Jawa artinya kira-kira serupa dengan "dekil" atau kotor.
Karena warna mie yang agak kusam keabu-abuan, bukannya putih bersih disebabkan tanpa pemutih sama sekali. Makanya disebut mie dekil atau mie lethek. Meski warnanya dekil, tapi jangan salah dengan rasanya yang MasyaAllah.... muantabs buwanget! Gurihnya justru mengingatkan saya sama kota Jogja bukannya Bantul... (jadi inget mantan pacar yang tinggal di sana). Di samping warna mienya yang lethek, ternyata cara memasaknya pun sangat unik. Karena harus dengan perlakuan khusus, dimana bila terlalu panas bisa jadi jenang (dodol). Nah terbayangkan betapa sulitnya mengira-ngira berapa panas yang pas dalam membuat sajian masakan mie lethek?
Mie Lethek adalah sajian khas Bantul yang biasanya terbuat dari bmie putih yang biasanya menggunakan merk tertentu. "Kami sudah coba mi merk lain tapi yang paling pas dan cocok cuma merk ini saja." papar Mbok Dhe Mulyo tentang rahasia lezat menu unggulannya itu.
Yang jelas kelezatan khas Bantul ini bisa kita dapatkan di sini. Gurihnya mie goreng atau mie godhog berwarna butek ini mengingatkan saya dengan sajian Mie Godhog khas Jogja yang "nyemek" (direbus tapi tak berkuah).
Rasa ayam kampungnya pun memang beda. Ternyata rahasianya adalah kombinasi irisan daging ayam biang (betina) dengan daging ayam jago (jantan) yang telah diungkeb beberapa jam sebelumnya. tentunya dengan bumbu rahasia ala Mbok Dhe Mulyo. Hmmmm kelezatan khas Bantul yang patut dicicipi.
Rasa ayam kampungnya pun memang beda. Ternyata rahasianya adalah kombinasi irisan daging ayam biang (betina) dengan daging ayam jago (jantan) yang telah diungkeb beberapa jam sebelumnya. tentunya dengan bumbu rahasia ala Mbok Dhe Mulyo. Hmmmm kelezatan khas Bantul yang patut dicicipi.
Tahu Guling, kombinasi Tahu Kupat dengan Kuah Pempek.
Guling Tahu Khas Bantul |
"Memang kebanyakan pelanggan kami justru para pendatang dari pulau Sumatera dan bahkan ada yang dari Sulawesi" papar Mbok Dhe Mulyo.
Termasuk salah seorang artis senior seperti Bambang Tondo, adik kandung Tanti Yosepha, musisi era tahun 1970-an.
Untuk menu sajian Tahu Guling terbilang istimewa karena rasanya yang bukan saja pedas namun kuah kecap manisnya yang seperti kuah pempek itu punya rasa khas. Sambil menikmati potongan tahu (biasanya tahu bacem, namun saat itu sajiannya berupa tahu goreng yang tak kalah nikmat). Campuran taoge dan bihun putih juga begitu pas di lidah. Sensasi pedasnya begitu pas dengan rasa manis, gurih dan asam. Masya Allooohhhh mantabs buanget Cuy!
Mangut Lele Tak Kalah Sedap dengan Mangut Belut Semarang
Mangut Lele Ganjuran |
Meskipun bentuknya seperti opor, namun sajian Mangut Lele ini berwarna merah cabe ini karena cabe merahnya yang lumayan banyak.
Bagi saya yang terpenting adalah rasanya. Kombinasi pas antara gurihnya daging lele bakar dengan kuah sambel pedas membuat lidah saya dan anak istri saya terus menari menikmatinya. Hmmm dobel-dobel mantapnya mengingat beberapa bumbu rempahnya tidak dibeli di pasar lokal Jakarta, justru didatangkan khusus dari Pasar Beringharjo Jogjakarta. Nah unik dan khas banget bukan?
Sepertinya saya baru pertama kali merasakan kelezatan lele bakar ini yang jauh berbeda bila dibandingkan pecel lele goreng yang biasanya saya nikmati bersama keluarga. Petualangan kuliner saya kali ini sukses dengan bertambahnya perbendaharaan makanan khas Bantul dalam liputan kulinerkuliner ini.
Wedang Uwuh, Khasiat ajaib "Wedang Sampah" kreasi Sri Sultan HB IX
Wedang Uwuh Imogiri |
Waroenge Dhewe yang berumur 2 tahun ini tepatnya tanggal 15 Desember 2008 lalu ini memang lebih sering buka dari jam 11 pagi hingga jam 12 malam. Umumnya para pelanggan menyukai tempat ini karena tiga minuman unggulannya yang luar biasa. Dua minuman panas yakni Teh Poci dan Wedang Uwuh dan satu minuman dingin, yakni Es Tape.
Bila Teh Poci dengan gula batu yang dikasih potongan batang sereh dan pengaduknya juga dari batang sereh, namun bagi kulinerkuliner.com yang istimewa adalah Wedang Uwuh (dalam bahasa Jawa Uwuh = Sampah).
Betapa tidak, minuman khas Bantul ini sejatinya adalah minuman ramuan khusus yang dipelopori oleh ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Betapa tidak, minuman khas Bantul ini sejatinya adalah minuman ramuan khusus yang dipelopori oleh ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Ramuan Wedang Uwuh adalah dedaunan kering yang jatuh dari pohon di makam Raja Mataram, Pajimatan Imogiri. Jadi wajar saja bila dedaunan kering yang tidak dipetik langsung dari pohonnya itu disebut sampah.
Dedaunan kering yang berjatuhan lalu dicampur dengan potongan jahe bakar yang ditumbuk dan potongan kayu secang serta sebatang sereh dan digodhog dengan air hingga mendidih panas.
Hasilnya adalah seperti teh namun berwarna kemerahan. Minuman sampah berkhasiat ini siap dinikmati ditambah dengan potongan gula batu atau gula Jawa.
Rasanya...... hmmmm mantap luar biasa, di samping pedas jahenya begitu terasa, kesegaran daun pohon khusus ini begitu sensasional dikombinasi sedapnya batang sereh dan kayu secang yang juga bermanfaat sebagai antibiotik. Pasti Anda suka.....
Dedaunan kering yang berjatuhan lalu dicampur dengan potongan jahe bakar yang ditumbuk dan potongan kayu secang serta sebatang sereh dan digodhog dengan air hingga mendidih panas.
Hasilnya adalah seperti teh namun berwarna kemerahan. Minuman sampah berkhasiat ini siap dinikmati ditambah dengan potongan gula batu atau gula Jawa.
Rasanya...... hmmmm mantap luar biasa, di samping pedas jahenya begitu terasa, kesegaran daun pohon khusus ini begitu sensasional dikombinasi sedapnya batang sereh dan kayu secang yang juga bermanfaat sebagai antibiotik. Pasti Anda suka.....
Riwayat Merk Waroenge Dhewe.
Menurut kisah dari Mbok Dhe Mulyo, bahwa dirinya dilahirkan pada hari dan tanggal yang sama dengan sang suami. "Bedanya saya dilahirkan pada pagi hari, sedangkan suami saya sore hari," jelas Mbok Dhe Mulyo, wanita kelahiran Ganjuran Bantul 47 tahun yang lalu ini.
Mbok Dhe Mulyo mampu membuat sajian masakan yang lezat ini dikerenakan memiliki alat untuk membuat bumbu berupa warisan cobek dan munthu dari eyangnya, Mbah Kromoarjo yang terkenal di Bantul karena kelezatan bakmie godhognya.
Ayam Jago dan Biang, rahasia lezat Bakmi Djowo |
Di antaranya adalah Annisa Bahar, Bambang Tondo, musisi tahun 70-an, yang juga adik kandung dari Tanti Yosepha. Ada juga mantan Gubernur Kalimantan Barat dan mantan menteri.
Bambang Tondo, pelanggan setia Bakmi Godhog |
Juga ada Mangoet Lele Ganjuran yang gurih dan unik, dan jangan lupa adalah Bakmie Godhog khas Bantul yang paling digemari pelanggannya.
Tertarik untuk pemesanan masakan khas Bantul, silakan hubungi telp (021)4435.2249, (021) 9346.1965 atau (021) 932.74925
Jl. Pulo Gebang Raya 76 Jakarta Timur
Phone/SMS:
(021)4435.2249 (021)9346.1965
(021)4435.2249 (021)9346.1965
Sidik Rizal - bukankelanakuliner.com
8 komentar:
Jenis mie yang satu ini berwarna kecoklatan sehingga disebut "lethek" (bahasa jawa) atau kotor. Meski namanya lethek, makanan ini higienis dan memiliki rasa khas serta proses pembuatan secara tradisional.
Yasir Ferry seorang pengusaha mie lethek di Dusun Bendo RT 101 Trimurti, Srandakan, Bantul, meneruskan usaha keluarga turun-temurun. Usaha mie dirintis oleh Umar Bisyir Nahdi, kakek Yasir, sejak tahun 1940-an. Pada tahun 1972, perusahaan diteruskan oleh Ismed Bachir Saleh. Namun pada tahun 1985, usaha mie lethek berhenti karena Ismed meninggal dunia dan perusahaan tidak yang mampu meneruskan.
Pada tahun 2002, Yasir Ferry kembali membuka kembali usaha yang telah dirintis kakeknya. Berlatar belakang membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar yang biasa sebagai buruh penambang pasir di sungai.
Dengan pegawai sejumlah 30 orang, memprodiksi 1 ton mie lethek dalam sehari. Namun, produksinya tidak tentu, bisa 2 hari kerja selanjutnya libur sehari. Harga 1 kilogram mie Rp 6.600 sedangakan harga eceran per-pak Rp 33.000.
Pembuatan mie lethek ini cukup unik, menggunakan tenaga sapi untuk menggiling adonan mie. Berbahan baku tepung tapioka dari Lampung dan gaplek yang didatangkan dari Purworejo.
Yasir Ferry mnegaku pernah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Sri Boga Semarang dan Pameran di JEC.
Bila anda tertarik bisa menghubungi nomer telepon 0274-6576680, atau datang ke Dusun Bendo RT 101 Trimurti, Srandakan, Bantul 55762.
Suara derit kayu saling bergesek, sesekali ditingkah suara lenguhan sapi, nyaris setiap hari terdengar dari sebuah bangunan pabrik, di tepi Sungai Progo, yang melintasi Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta.
Di pabrik mi tradisional inilah, puluhan warga Dusun Bendo, sebagian telah lanjut usia, bekerja sebagai pembuat mi tradisional merek Garuda, yang lebih akrab disebut dengan Mi Lethek.
Pabrik mi yang berdiri sekitar tahun 1940-an tersebut, kini dikelola oleh sang cucu, Yasir Ferry Ismatadra. Kondisi pabrik sampai saat ini, tak jauh beda seperti ketika pertama kali didirikan.
Semua peralatan yang digunakan masih serba tradisional peninggalan sang kakek, dengan tenaga manusia dan hewan sebagai penggeraknya.
Seperti alat penggiling tepung berupa batu silinder seberat 1 ton, ditarik dengan menggunakan tenaga sapi.
Berkarung-karung tepung digiling setiap hari, dan secara bergantian 2 ekor sapi disiapkan untuk menarik batu silinder ini. Adonan tepung ini lalu di masukkan ke dalam oven yang masih menggunakan bahan bakar kayu.
Peninggalan lain yang sampai sekarang masih digunakan adalah alat pencetak mi atau mesin press. Para pekerja di pabrik ini menyebutnya dengan 'tarikan". disinilah keunikan alat press ini.
Hampir seluruhnya terbuat dari kayu tepeng dan membutuhkan sedikitnya 8 tenaga manusia untuk menggerakkannya. Masing-masing mendapat pembagian tugas yang jelas.
Ada yang bertugas sebagai penginjak balok kayu berdiameter 40 cm, disebut munyuk karena gerakannya yang mirip seekor monyet berayun.
Ada gerakan yang disebut nengahin, bandil dan nyamber. Mereka yang bertugas menarik kayu disebut metit. Seluruh gerakan ini harus dilakukan serempak.
Sedang adonan tepung, dimasukkan ke dalam jebung atau lumpang yang sudah dipasang saringan di bagian bawahnya. Dengan cara seperti inilah adonan dicetak menjadi mi. Mi yang tercetak ini, warnanya putih keruh. Karena itu disebut mi lethek, yang bagi orang Jawa Tengah, lethek berarti kotor atau kusam.
Namun rasa mie lethek memang tak sesuai namanya. Bukan hanya karena rasa mi yang khas, tetapi juga proses pembuatannya.
Konon, pabrik yang ketika berdiri menggunakan izin HO Revolusi ini, dulu begitu terkenal. Dan mi lethek punya tempat tersendiri di hati konsumennya sampai saat ini.
Pabrik yang mempekerjakan sekitar 40 orang tenaga manusia ini, sempat berhenti beroperasi dari tahun 1983 hingga pertengahan 2003 karena tak ada yang mengelola.
Selama itu, warga yang dulu menjadi pekerja di pabrik ini beralih menjadi penambang pasir dan batu di Kali Progo.
Seiring dengan menipisnya pasir dan batu, warga kemudian meminta keluarga Umar Bisyir Nahdi, sang pendiri pabrik, untuk mengoperasikannya kembali.
Awalnya Fery sempat bingung, bagaimana cara mengoperasionalkan kembali pabrik ini, mengingat seluruh peralatannya masih serba tradisional. Atas inisiatif warga pula, yang akhirnya mencari para pekerja dan pemasarannya.
Agak sulit mencari tenaga kerja terutama tenaga penggerak mesin tarikan. Karena itu mereka yang dulu pernah bekerja di tempat ini, dipekerjakan kembali. Tak heran, rata-rata pekerjanya berusia 50 tahun lebih.
Dan akhirnya pertengahan 2003 lalu, pabrik mi tradisional ini kembali beroperasi dengan merek Mi Garuda dengan produksi rata-rata sehari mencapai 2 ton. Perkilogramnya dijual dengan harga 4500 rupiah.
Jika berhitung, keuntungan bersih yang diperoleh pengelola hanya berkisar 8 persen perkilonya. Namun bukan keuntungan semata yang dicari.
Amanat mulia sang kakek untuk menghidupi warga Dusun Bendo, menjadi alasan utama pabrik mi tradisional ini kembali beroperasi.
Bikin Mie Singkong di Antara Lenguhan Sapi
Warna mie itu memang agak kusam tidak seterang mie-mie instan yang biasa dijajakan di warung atau kios-kios swalayan. Namanyanya mie lethek (bahasa Jawa), yang artinya kusam. Tapi biar kusam mie ini istimewa. Pertama soal rasa, konon mie ini lebih enak dan kenyal. Kedua, tanpa menggunakan bahan pengawet. Ketiga, karena di Yogyakarta hanya dua tempat yang memproduksi mie lethek ini dan semuanya hasil industri rumahan.
Lebih istimewanya lagi mie ini diproduksi masih dengan cara-cara tradisional. Seperti di pabrik mie "Revolusi" milik keluarga almarhum Umar Bisyir di Dusun Bendo, Srandakan, Bantul - Yogyakarta. Untuk menggiling adonan tepung tapiokanya mereka masih menggunakan tenaga sapi. Dan ini bertahan dari awal berdirinya tahun 1940-an sampai sekarang. Alasannya: belum menemukan teknologi yang tepat untuk mengolah adonan mie.
Tadinya bukan saja untuk menggiling adonan mie yang masih menggunakan cara tradisional. Tapi juga alat press kayu untuk mencetak mie masih mengunakan banyak tenaga manusia. Belakangan ini alat press itu digantikan tenaga mesin sehingga lebih efesien dan produktivitas bisa ditingkatkan. Hanya mesin press itu yang sedikit modern, yang lainnya seperti oven untuk memasak adonan masih menggunakan tungku semen dan kayu sebagai bahan bakarnya. Begitu juga proses pengeringanya masih mengandalkan tenaga matahari. Hal itu yang menyebabkan warna mienya sedikit kusam.
Pemilik pabrik itu, Yasir Ferry Ismatrada, setidaknya bisa berbangga hati. Karena sedikitnya bisa membuka lapangan pekerjaan bagi sekitar 40-an orang warga Dusun Bendo. Dan juga mie produksinya bisa menyerap 12 ton tapioka produksi lokal yang berarti ikut membantu menghidupi para petani singkong. Belum lagi mie yang dilepas ke pasaran sebagian besar diserap oleh pedagang mie kaki lima di kawasan Yogyakarta. Tentu saja itu bisa menghidupi keluarga pedagang mie kaki lima tersebut.
Jadi kalau anda jalan-jalan ke Yogyakarta dan makan mie goreng di pinggir jalan, jangan kaget mie yang anda makan adalah mie lethek yang diproduksi di antara lenguhan sapi di Dusun Bendo, Srandakan- Bantul. Moooooaaaaa!
(bgian 1 dari 2 halaman)
Eny Prihtiyani [ kompas.com Senin, 23 Februari 2009 | 00:47 WIB ] Di rumah yang sederhana itu, sekitar 22 tenaga kerja menggantungkan nasib pada usaha mi lethek. Kenyataan itu membuat Yasir Feri Ismatrada tetap mempertahankan metode produksi tradisional. Meski memakai peralatan tradisional, kapasitas produksinya bisa mencapai 10 ton per bulan.
Yasir Feri Ismatrada adalah warga Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai usaha membuat mi sejak tahun 2002, meski mi lethek sebenarnya adalah usaha turun-temurun keluarga yang mulai diproduksi sejak tahun 1940-an. Tahun 1982 usaha tersebut sempat terhenti karena kesulitan ekonomi.
Setelah lama produksi mi lethek terhenti, Yasir mulai tergelitik untuk menggerakkan kembali usaha keluarganya. Ide itu muncul setelah dia mendengar informasi dari seorang dokter tentang khasiat singkong. Yasir pun teringat akan mi lethek produksi keluarganya yang dibuat dengan bahan dasar singkong.
“Penjelasan dokter itu membuat saya tergugah. Saya sekaligus merasa tertantang untuk mengembangkan kembali mi lethek. Saya yakin mi produksi saya bisa menguasai pasar karena rasanya berbeda dengan mi pada umumnya. Saya juga percaya khasiat singkong sangat baik untuk kesehatan tubuh,” katanya.
Mi lethek terbuat dari bahan dasar tepung tapioka atau tepung singkong yang dicampur dengan gaplek. Kedua bahan itu diaduk dengan menggunakan alat berbentuk silinder. Silinder tersebut digerakkan oleh tenaga sapi. Setelah bahan baku diaduk, dimasukkan ke tungku kukusan, lalu diaduk lagi untuk mengatur kadar airnya. Kemudian adonan tersebut dipres dan dikukus lagi. Proses terakhir berupa pencetakan dan penjemuran mi hingga kering.
Produk ini disebut mi lethek karena warna mi ini tidak secerah mi pada umumnya, yakni putih atau kuning. Warna mi ini butek atau keruh karena tidak menggunakan bahan pemutih, pewarna, ataupun pengawet. Lethtek dalam bahasa Jawa artinya kotor.
Justru warna mi lethek benar-benar alami muncul dari proses produksi. Meski diolah secara tradisional, mi lethek bisa bertahan hingga tiga bulan apabila disimpan dalam ruangan yang tidak lembab.
Langganan Presiden
Konsumen awam yang melihat wujud mi lethek mungkin tidak akan tertarik karena tampilannya memang kurang menarik. Namun, begitu tahu rasanya, banyak orang yang langsung ketagihan.
Di Bantul tidak banyak orang yang membuat mi lethek karena proses produksinya dinilai terlalu rumit. Bisa dikatakan hanya Yasir bersama pamannya yang memproduksi mi lethek.
Dalam satu bulan Yasir bisa memproduksi 10 ton mi lethek. Dari jumlah itu, 50 kilogram di antaranya dikirim ke Departemen Pertanian untuk disalurkan ke Cikeas, kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Bapak Presiden sudah menjadi pelanggan tetap saya. Selain Pak SBY, sejumlah pejabat juga menjadi pelanggan setia,” cerita Yasir tentang sebagian penggemar mi letheknya.
Bisa menggaet presiden sebagai pelanggan tetap tidak membuat Yasir berpuas diri. Ia ingin dapat mengalahkan mi produksi pabrikan yang lebih banyak menggunakan terigu.
(bersambung ke hal berikutnya)
Eny Prihtiyani [ kompas.com Senin, 23 Februari 2009 | 00:47 WIB ] Di rumah yang sederhana itu, sekitar 22 tenaga kerja menggantungkan nasib pada usaha mi lethek. Kenyataan itu membuat Yasir Feri Ismatrada tetap mempertahankan metode produksi tradisional. Meski memakai peralatan tradisional, kapasitas produksinya bisa mencapai 10 ton per bulan.
Yasir Feri Ismatrada adalah warga Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai usaha membuat mi sejak tahun 2002, meski mi lethek sebenarnya adalah usaha turun-temurun keluarga yang mulai diproduksi sejak tahun 1940-an. Tahun 1982 usaha tersebut sempat terhenti karena kesulitan ekonomi.
Setelah lama produksi mi lethek terhenti, Yasir mulai tergelitik untuk menggerakkan kembali usaha keluarganya. Ide itu muncul setelah dia mendengar informasi dari seorang dokter tentang khasiat singkong. Yasir pun teringat akan mi lethek produksi keluarganya yang dibuat dengan bahan dasar singkong.
“Penjelasan dokter itu membuat saya tergugah. Saya sekaligus merasa tertantang untuk mengembangkan kembali mi lethek. Saya yakin mi produksi saya bisa menguasai pasar karena rasanya berbeda dengan mi pada umumnya. Saya juga percaya khasiat singkong sangat baik untuk kesehatan tubuh,” katanya.
Mi lethek terbuat dari bahan dasar tepung tapioka atau tepung singkong yang dicampur dengan gaplek. Kedua bahan itu diaduk dengan menggunakan alat berbentuk silinder. Silinder tersebut digerakkan oleh tenaga sapi. Setelah bahan baku diaduk, dimasukkan ke tungku kukusan, lalu diaduk lagi untuk mengatur kadar airnya. Kemudian adonan tersebut dipres dan dikukus lagi. Proses terakhir berupa pencetakan dan penjemuran mi hingga kering.
Produk ini disebut mi lethek karena warna mi ini tidak secerah mi pada umumnya, yakni putih atau kuning. Warna mi ini butek atau keruh karena tidak menggunakan bahan pemutih, pewarna, ataupun pengawet. Lethtek dalam bahasa Jawa artinya kotor.
Justru warna mi lethek benar-benar alami muncul dari proses produksi. Meski diolah secara tradisional, mi lethek bisa bertahan hingga tiga bulan apabila disimpan dalam ruangan yang tidak lembab.
Langganan Presiden
Konsumen awam yang melihat wujud mi lethek mungkin tidak akan tertarik karena tampilannya memang kurang menarik. Namun, begitu tahu rasanya, banyak orang yang langsung ketagihan.
Di Bantul tidak banyak orang yang membuat mi lethek karena proses produksinya dinilai terlalu rumit. Bisa dikatakan hanya Yasir bersama pamannya yang memproduksi mi lethek.
(bersambung ke halaman berikutnya)
asir Feri Ismatrada adalah warga Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai usaha membuat mi sejak tahun 2002, meski mi lethek sebenarnya adalah usaha turun-temurun keluarga yang mulai diproduksi sejak tahun 1940-an. Tahun 1982 usaha tersebut sempat terhenti karena kesulitan ekonomi.
Setelah lama produksi mi lethek terhenti, Yasir mulai tergelitik untuk menggerakkan kembali usaha keluarganya. Ide itu muncul setelah dia mendengar informasi dari seorang dokter tentang khasiat singkong. Yasir pun teringat akan mi lethek produksi keluarganya yang dibuat dengan bahan dasar singkong.
“Penjelasan dokter itu membuat saya tergugah. Saya sekaligus merasa tertantang untuk mengembangkan kembali mi lethek. Saya yakin mi produksi saya bisa menguasai pasar karena rasanya berbeda dengan mi pada umumnya. Saya juga percaya khasiat singkong sangat baik untuk kesehatan tubuh,” katanya.
Mi lethek terbuat dari bahan dasar tepung tapioka atau tepung singkong yang dicampur dengan gaplek. Kedua bahan itu diaduk dengan menggunakan alat berbentuk silinder. Silinder tersebut digerakkan oleh tenaga sapi. Setelah bahan baku diaduk, dimasukkan ke tungku kukusan, lalu diaduk lagi untuk mengatur kadar airnya. Kemudian adonan tersebut dipres dan dikukus lagi. Proses terakhir berupa pencetakan dan penjemuran mi hingga kering.
Produk ini disebut mi lethek karena warna mi ini tidak secerah mi pada umumnya, yakni putih atau kuning. Warna mi ini butek atau keruh karena tidak menggunakan bahan pemutih, pewarna, ataupun pengawet. Lethtek dalam bahasa Jawa artinya kotor.
Justru warna mi lethek benar-benar alami muncul dari proses produksi. Meski diolah secara tradisional, mi lethek bisa bertahan hingga tiga bulan apabila disimpan dalam ruangan yang tidak lembab.
Langganan Presiden
Konsumen awam yang melihat wujud mi lethek mungkin tidak akan tertarik karena tampilannya memang kurang menarik. Namun, begitu tahu rasanya, banyak orang yang langsung ketagihan.
Di Bantul tidak banyak orang yang membuat mi lethek karena proses produksinya dinilai terlalu rumit. Bisa dikatakan hanya Yasir bersama pamannya yang memproduksi mi lethek.
Dalam satu bulan Yasir bisa memproduksi 10 ton mi lethek. Dari jumlah itu, 50 kilogram di antaranya dikirim ke Departemen Pertanian untuk disalurkan ke Cikeas, kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Bapak Presiden sudah menjadi pelanggan tetap saya. Selain Pak SBY, sejumlah pejabat juga menjadi pelanggan setia,” cerita Yasir tentang sebagian penggemar mi letheknya.
Bisa menggaet presiden sebagai pelanggan tetap tidak membuat Yasir berpuas diri. Ia ingin dapat mengalahkan mi produksi pabrikan yang lebih banyak menggunakan terigu.
“Tepung terigu kan harus impor, sedangkan singkong tidak, ini produksi lokal. Terigu hanya menguntungkan penduduk di negara lain, sedangkan singkong bisa mengangkat derajat petani lokal,” katanya.
Untuk mendapatkan 10 ton mi, Yasir membutuhkan sekitar 10,5 ton tepung tapioka dan 20 ton gaplek. Bahan-bahan itu diperolehnya dari para petani lokal di Bantul dan beberapa daerah di Indonesia.
“Untuk tapioka, yang paling bagus itu produksi Banjarnegara, sedangkan gaplek biasa saya beli di Gunung Kidul,” tutur bapak dua anak itu.
Mi lethek dijual seharga Rp 6.600 per kilogram. Dalam sebulan Yasir bisa mengantongi laba bersih sekitar Rp 6 juta. Selain kalangan istana, pelanggan tetapnya adalah para pedagang di pasar tradisional. Menurut dia, tingkat permintaan dan kapasitas produksi masih timpang. Banyak pelanggan yang tidak kebagian mi karena Yasir kesulitan menambah kapasitas produksi.
Silahkan dicoba juga nikmatnya mi lethek di Warung Mi Lethek Bantul Mbah Mendes Cabang Meguwoharjo, Depok, Sleman. Jl Ringroad Utara, sebelum belokan ke stadion Tajem (kulon LotteMart). Anda dijamin, teko pisan dadi tuman...
www.mielethek.blogspot.com
Posting Komentar